Halaman

Label

Jumat, 10 Juni 2011

Siapa Bibi Mia?


Namaku Nur, ibuku menamakanku begitu karena menurutnya aku adalah cahaya hidupnya. Setidaknya itulah menurut dia. Meskipun nyatanya aku seperti anak buangan karena jarang bertemu orang  tuaku sendiri.

Kedua orang tuaku bekerja. Ayahku bernama Iman, dia memiliki perusahaan yang cukup terkenal. Dan ibuku, Ayu,  memiliki butik pakaian yang cukup tersohor di kota kami, Bandung. Karena itulah mereka sibuk dan tidak punya waktu denganku. Hidupku hanya bersama pengasuhku sejak kecil. Karena itulah aku dekat dengan pengasuhku. Segala sesuatu yang kuminta pasti diberikan olehnya. Aku merasa bahwa dia lebih cocok jadi ibuku.


Aku tidak pernah menghabiskan waktu dengan orang tuaku, setiap aku mau jalan-jalan, aku meminta pengasuhku, Bibi Mia, untuk mengantarku. Apalagi saat aku ulang tahun, orang tuaku tidak pernah mengucapkan ucapan selamat ulang tahun apalagi memberi hadiah.

Besok tanggal 5 Juni tepat ulang tahunku ke 12. Orang tuaku berjanji untuk pulang dan merayakan ulang tahunku. Aku tidak tahu dan tidak peduli apa mereka menepati janjinya atau tidak, aku sudah biasa kalau orang tuaku tidak menepati janjinya.

Aku  meminta kepada pengasuhku untuk mengantarkan ke toko boneka. Aku berencana membeli boneka untuk hadiah ulang tahunku. Menyedihkan memang jika aku membeli hadiah ulang tahunku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terpaksa menerimanya.

Tanggal 5 Juni telah tiba, dan seperti dugaanku orang tuaku mengingkari janjinya. Mereka beralasan kalau mereka sangat sibuk. Aku hanya diam mendengar hal itu dari telepon. Aku sangat sedih dan air mataku mulai jatuh. Tidak biasanya aku sedih karena hal ini, mungkin karena sekarang adalah hari yang istimewa yaitu kelulusanku dari SD, dan hanya pengasuhku yang mengucapkan selamat.

Aku menangis di dalam kamar, aku merasa meyesal untuk hidup. Apa aku tidak boleh mendapatkan kasih sayang? Aku merasa tidak ada gunanya hidup lama lagi. Di kepalaku muncul rencana untuk mengakhiri hidup ini. Tapi aku merasa itu hanya menambah penderitaan ku. Dan apa untungnya bagiku untuk mati?

Sudah berjam-jam aku di kamar hingga aku tertidur pulas di kamarku. Ketika bangun aku merasa sangat lega, aku merasa sangat tenang dan mulai melupakan masalahku. Aku lalu keluar kamar dengan senyum yang cemerlang.

“Bibi, malam ini kita makan apa?” tanyaku sambil menepuk perutku.

“ Eh, kamu sudah bangun, Nur? Bibi malam ini membuatkan makanan kesukaanmu, mi goreng dengan bakso,” jawabnya dengan terseyum.

Karena lapar, aku langsung duduk dan mulai menciduk makanan di depanku dan aku makan dengan lahap sampai tidak menyadari pengasuhku yang tertawa melihatku. “Makannya pelan-pelan, nanti tersedak,” kata pengasuhku sambil tertawa. Dan aku ikut tertawa mendengar ucapannya. Setelah makan aku langsung tidur kembali dengan perasaan senang.

Pagi hari telah datang. Karena hari ini hari libur, aku berencana untuk pergi jalan-jalan dengan pengasuhku. “Bibi, kita jadi ke kebun binatang kan?” tanyaku dengan senang.

“Tentu, sayang! Tapi setelah bibi berberes dulu ya,” jawabnya sambil tersenyum kepadaku.

Setelah siap, kami pergi ke kebun binatang. Kami mengobrol dengan ceria sambil melihat hewan-hewan disana. Aku sangat bahagia karena punya pengasuh seperti dia. Kami juga sempat membeli boneka beruang kesukaanku.

Kami lalu pulang dengan menaiki bis. Tapi, hal buruk terjadi saat kami di dalam bis. Ternyata pengendara bis itu mabuk sehingga jalannya ugal-ugalan. Kecelakaanpun tidak dapat dihindarkan. Aku dan pengasuhku berteriak dan bis berputar-putar sehingga kami terlempar kesana kemari. Aku mulai kehilangan kesadaran dan dengan setengah sadar aku melihat seseorang mengangkatku terbang. Dan akhirnya aku total pingsan.

Saat sadar aku ternyata berada di rumah sakit. Orang tuaku berdiri di sebelahku dengan wajah cemas. Ibuku menangis melihatku dan langsung memelukku, “Syukurlah kamu tidak apa-apa, nak. Maafkan ibu ya karena tidak memerhatikan kamu,” kata ibuku sambil menangis sesengukan seperti anak kecil.

Tapi aku merasa ada yang kurang, “Ibu, ayah, dimana bibi Mia? Apa dia baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanyaku dengan cemas.

Ibuku menatapku dengan bingung dan ayahku hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Siapa itu bibi Mia? Tidak ada yang namanya Mia di keluarga kita, sayang,” kata ibuku sambil tersenyum.

“Apa? Ibu tidak bercanda kan? Bibi Mia itu pengasuhku, Bu. Ibu tidak ingat?” tanyaku kaget mendengar perkataan ibuku. “Tapi memang tidak ada yang namanya Mia di keluarga kita. Kamu juga tidak punya pengasuh yang namanya Mia. Kamu hanya berhalusinasi, sayang,” kata ibuku sambil mengusap kepalaku.

Sungguh aneh! Apa aku hanya bermimpi tentang bibi Mia? Tapi aku merasakan itu sangat nyata, bukan mimpi belaka. Aku semakin bingung dengan hal ini. Apa yang terjadi? Apa karena aku jarang diberikan kasih sayang sehingga aku berhalusinasi memiliki pengasuh? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam kebingungan.

Semenjak kecelakaan, orang tuaku menjadi sangat perhatian padaku. Mereka selalu memanjakanku, berbeda dengan saat aku belum kecelakaan. Apapun yang kuminta pasti mereka berikan. Aku mulai melupakan bibi Mia karena aku merasa itu hanyalah halusinasiku.

Suatu malam saat aku tidur, aku bernimpi berada disebuah tempat yang kosong dan terang sekali. Dan tiba-tiba datang seorang perempuan tua dengan memakai pakaian bertudung. Dia tersenyum kepada dan aku hanya bisa membalas dengan diam karena tidak mengenalnya. “Kamu pasti bertanya-tanya siapa diriku. Aku adalah ibu perimu,” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku bingung harus menjawab apa, jadi aku hanya diam. “Tugasku adalah menjaga dirimu dari segala macam hal yang membuatmu sedih,” katanya melanjutkan.

“Lalu, dimana aku sekarang?” aku  mulai berani bertanya.

“Anggap saja kita berada di alam mimpi. Setidaknya begitulah kiranya,” katanya.

“Lalu, kenapa anda bisa menjadi ibu periku?” tanyaku.

Dia tertawa, “Semua anak punya ibu peri, nak. Hanya saja tergantung ibu peri itu mau menunjukkan dirinya atau tidak,”

Ketika aku akan bertanya lagi, tiba-tiba cahaya semakin terang dan aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali cahaya itu. Dan aku kemudian sadar kalau aku bermimpi.

“Selamat pagi, sayang! Apa tidurmu nyenyak?” tanya ibuku sambil menyiapkan sarapan. “Pagi! Lumayan nyenyak,” jawabku sekenanya dan langsung duduk untuk sarapan.

Liburanku hanya kuisi dengan membaca buku, aku tidak berminat lagi berjalan-jalan. Lagipula ada tes untuk masuk SMP, karena itu aku harus belajar.

Ibuku melihatku dengan sedih, “Apa kamu masih tidak memaafkan kami?” tanyanya sambil mengusap kepalaku.

“Tidak, Bu. Aku hanya sibuk karena nanti akan ada tes,” jawabku sambil tersenyum dan melanjutkan membaca buku.

Ibuku menghela nafas panjang, “Ya sudah. Belajar yang rajin ya!” kata ibuku sambil pergi.

Aku mulai bosan membaca buku, aku kemudian menyalakan televisi di kamarku. Dan aku melihat berita sebuah kecelakaan bis. Bukankah itu aku? Aku melihat diriku terpental dari dalam mobil dalam keadaan pingsan. Dan aku melihat ada orang yang kukenal di dalam bis. Bukankah itu bibi Mia? Aku kaget melihat bibi Mia ada di dalam bis itu. Tidak! Itu hanya halusinasiku. Tidak ada yang namanya bibi Mia. Aku berusaha melupakan bibi Mia. Tapi di kecelakaan itu terlihat jelas itu adalah bibi Mia. Aku tidak mungkin salah.

Akhirnya dengan kepala penuh dengan pertanyaan, aku mematikan televisi dan berpikir. Siapa dia? Kenapa mirip dengan halusinasiku? Tapi semakin lama aku berpikir, semakin banyak yang tidak aku mengerti.

Aku akhirnya berencana untuk bertanya pada ibuku, mungkin ada yang dia sembunyikan dariku.

“Ibu, apa benar tidak ada yang namanya Mia di keluarga kita?” tanyaku.

Ibuku bingung dengan pertanyaanku, “Tentu saja, sayang. Memangnya ada apa?” ibuku balik bertanya.

“Aku lihat di televisi ada orang yang mirip sekali dengan bibi Mia. Ibu tidak berbohong padaku kan?” kataku.

“Benar, sayang. ibu tidak berbohong. Mungkin hanya mirip saja,” kata ibuku sambil tersenyum. Aku lalu kembali lagi ke kamarku, “Nur, apa kamu tidak ingin makan?” teriak ibuku saat aku berjalan ke kamarku.

“Aku tidak lapar, Bu,” jawabku sambil terus berjalan ke kamarku.

Mungkin benar apa yang dikatakan ibuku, aku hanya berhalusinasi, lagipula banyak orang yang berwajah mirip. Aku lalu kembali membaca buku dan melupakan masalah itu.

Malam hari telah datang. Aku bersiap-siap untuk tidur, setidaknya itu yang kulakukan sampai tiba-tiba muncul asap keperakan tanpa jelas asalnya, dan dari asap itu muncul seorang perempuan tua, dia ternyata adalah perempuan yang kutemui dalam mimpi yang mengaku sebagai ibu periku.

“Apa yang anda inginkan? Apa yang anda lakukan disini?” tanyaku kaget.

“Tugasku adalah melindungimu, wajar bila aku disini bersamamu,” kata perempuan itu sambil tersenyum.

Tapi aku tidak langsung percaya padanya. “Kalau anda benar ibu periku, aku minta satu hal padamu. Apa boleh?” tanyaku.

“Tentu saja! Memang itulah tugasku,” jawabnya.

“Kalau begitu, aku ingin tahu siapakah bibi Mia? Memang kata orang tuaku dia hanya halusinasiku, tapi aku percaya kalau dia ada,” kataku.

Ibu periku hanya diam tidak menjawab. Wajahnya terlihat sangat kebingungan. Tapi dengan tersenyum dia menjawab, “Maaf, sayang! Aku tidak bisa melakukan hal itu.”

Aku merasa tidak puas, “Katamu anda adalah ibu periku dan tugasmu adalah melakukan apa yang aku minta,” kataku kesal. 

“Aku  tidak berkata aku akan melakukan apa yang kamu minta. Tugasku hanya melindungimu, itu saja,” katanya sambil tetap tersenyum.

Meskipun benar apa yang dikatakannya, aku tetap kesal pada ibu periku, “Kalau begitu silahkan anda pergi! Aku tidak membutuhkanmu,” dan ibu periku menghilang bersamaan dengan hilangnya asap keperakan itu. “Dasar pembohong!” kataku kesal dan lalu tertidur.

Esok harinya ibuku ingin mengajakku ke sebuah pasar swalayan. Aku sebenarnya tidak ingin pergi, tapi ibuku bersikeras untuk mengajakku dan terpaksa aku ikut.

Setelah sarapan, aku dan ibuku berangkat menuju sebuah pasar swalayan. Ibuku berbelanja sedangkan aku melihat lihat di bagian buku-buku. Aku ingin mencari buku tentang kumpulan puisi. Saat aku akan mengambil buku itu, ternyata ada orang lain yang juga ingin mengambilnya.

Aku menatap wajah orang itu, wajah yang sangat familiar bagiku. Dia tersenyum padaku dan membuatku salah tingkah, dan setelah dia mendapatkan buku itu dia pergi.

Siapa dia? Sepertinya aku pernah lihat? Tiba-tiba terlintas di kepalaku ingatan tentang bibi Mia. Apa dia adalah bibi Mia? Tanyaku dalam hati. Tapi, bagaimana mungkin? Dia hanya halusinasiku.

Aku penasaran dengan orang yang kutemui di pasar swalayan. Apakah dia adalah bibi Mia? Aku terus memikirkan hal itu bahkan saat pulang dari pasar swalayan. “Kamu tidak apa-apa, Nur?” tanya ibuku yang mengagetkanku.

“Oh, tidak ada apa-apa kok,” kataku gugup.

Malam hari aku berencana meminta pada ibu periku untuk bisa menemui bibi Mia lagi. Dan sesuai dugaanku, ibu periku datang. “Ibu peri, aku punya satu permintaan darimu, boleh?” tanyaku.

“Tentu saja boleh, sayang!” kata ibu periku.

“Aku ingin bertemu dengan orang yang kutemui tadi di pasar swalayan, bisa?” kataku.

“Baiklah, akan aku lakukan untukmu,” katanya. Dia lalu mengeluarkan sebuah tongkat berwarna perak dan memuntir tongkatnya dan keluar bintik-bintik berkilau dan langsung mengelilingiku.

Aku merasa badanku seperti melayang-layang dan sekejap kembali seperti semula. “Begitu saja?” tanyaku bingung. Ibu periku hanya tersenyum dan menghilang di dalam asap keperakan.

Pagi harinya ibuku mengajakku ke kebun binatang, dan kali ini aku merasa senang untuk bisa keluar menyegarkan pikiran daripada berkutat dengan buku-buku pelajaran.

Kami berangkat naik mobil. Ketika  sampai di tempat parkir, aku melihat orang yang mirip dengan bibi Mia lagi. Dengan cepat, aku langsung menghampiri dia, “Maaf, ada apa, nak? Apa saya mengenalmu?” tanya orang itu.

“Oh, perkenalkan, nama saya Nur,” kataku sambil mengulurkan tangan. Orang itu membalas uluran tanganku dengan wajah bingung, “Oh ya, boleh saya tahu nama anda siapa, bu?” tanyaku.

“Nama saya Sarah,” katanya sambil tersenyum.

Ternyata bukan bibi Mia, “Kalau begitu terima kasih, Bu,” kataku sambil pergi.

Tapi wanita itu mencegahku, “Tunggu sebentar. Sebenar ada apa, Nak?” tanyanya bingung.

“Aku sedang  mencari pengasuhku. Kata ibuku dia hanya halusinasiku tapi aku yakin dia ada. Wajahnya sangat mirip dengan anda,” kataku sedih mengingatnya.

Wanita itu iba melihatku, “Tenang saja, Nak! Kamu pasti akan menemukannya,” katanya menghiburku.

“Terima kasih! Semoga saja,” kataku.

“Sekarang aku harus pergi. Selamat tinggal!” kata wanita itu.

“Tunggu sebentar! Kalau kita bertemu lagi, bolehkah aku memanggilmu bibi Mia?” kataku.

“Tentu saja, Nak!” katanya sambil tersenyum dan pergi.

Selama berada di kebun binatang, aku terus memikirkan bibi Mia. Aku sama sekali tidak memperhatikan ibuku yang berbicara padaku. Bahkan aku tidak menikmati suasana kebun binatang.

Ketika perjalanan pulang, aku melihat sebuah kecelakaan bis tepat di depanku. Tiba-tiba segala ingatanku tentang bibi Mia dan ingatan saat kecelakaan bis muncul. Aku takut dan langsung menutup mataku.

Saat aku menutup mataku aku melihat ibu periku, dia menghela nafas dan kelihatan sedih. Dan mendadak ibu periku menghilang, dan ketika kubuka mataku, ternyata aku sudah sampai di rumah.

“Kamu tidak apa-apa, Nur? Kamu terlihat pucat,” kata ibuku cemas. Aku tidak menjawab dan langsung berjalan ke arah kamarku. Sedangkan ibuku melihatku dengan cemas.

Di kamar aku berbaring karena pusing. Tiba-tiba muncul ibu periku. “Ada apa, sayang?” tanyanya.

“Aku sekarang ingat semua tentang bibi Mia. Dia bukanlah halusinasiku,” kataku. “Itu tidak mungkin, sayang. itu hanya…,” tapi kalimatnya kupotong.

“Halusinasi! Iya aku tahu, tapi mana mungkin halusinasi begitu nyata? Bahkan sampai aku ingat pengalamanku dengan bibi Mia!” kataku kesal.

Ibu periku kaget mendengar perkataanku, “Baiklah kalau begitu, aku akan tunjukkan sesuatu padamu,”  dan kemudian dia memuntir tongkatnya dan kamarku menjadi sangat terang.

Tiba-tiba aku berada di sebuah tempat yang aku kenal. Ini adalah tempat dimana aku kecelakaan. “Kita sekarang berada di saat kamu terkena kecelakaan bis,” kata ibu periku seperti bisa membaca pikiranku.

Aku melihat bis dengan aku dan bibi Mia berada di dalamnya. “Hei, ternyata bibi Mia benar ada dan bukan halusinasiku,” teriakku saat melihat bibi Mia. Tapi ibu periku hanya diam. Tiba-tiba kecelakaan terjadi, bis yang kunaiki menghantam mobil lain dan terguling-guling.

Aku merasa gemetar melihat hal itu, dan saat kecelakaan terjadi aku mendengar suara bibi Mia, “Ya Tuhan, tolonglah Nur! Kalau bukan karena aku mengajaknya naik bis ini, mungkin dia akan selamat. Hapuslah ingatannya tentangku begitu juga sebaliknya dan hapuslah ingatan semua orang tentangku. Tapi, selamatkanlah dia!” dan kulihat diriku terangkat keluar dari bis dan turun perlahan dalam keadaan pingsan.

“Sekarang kamu mengerti kenapa kamu lupa tentang bibi Mia. Karena dia ingin menyelamatkanmu. Dan aku mengabulkan permintaannya,” kata ibu periku.

“Tapi, kenapa anda menghapus ingatanku tentangnya? Maksudku, anda masih bisa menyelamatkanku tanpa menghapus ingatanku kan?” kataku.

“Sebenarnya aku sengaja melakukannya agar kamu tidak ingat kecelakaan itu. Tapi, kasih sayang bibi Mia padamu sungguh kuat. Dan  pada saat kamu melihat kecelakaan itu, semua ingatanmu kembali,” katanya lembut.

“Itu berarti, bibi Mia ada dan bukan halusinasiku? Apa dia masih hidup?” tanyaku.

“Bibi Mia masih hidup dan ingatannya tentangmu sudah dihapus. Jadi, meskipun kamu berusaha mengingatkan dia. Dia tidak akan ingat,” kata ibu periku. “Oke, sepertinya sudah cukup kamu melihat,” lanjutnya.

Tiba-tiba, cahaya semakin terang dan dalam sekejap menjadi gelap, aku kembali ke kamarku, sendiri dalam keadaan bingung dan sedih.

Aku berencana untuk menemui wanita yang mirip dengan bibi Mia. Aku yakin dia adalah bibi Mia. Ternyata keberuntungan menghampiriku, aku bertemu dengannya di taman kota sedang memberi makan burung.

“Maaf, masih ingat dengan saya?” tanyaku.

Dia menatapku dan berkata, “Ah, kamu Nur kan? Yang saya temui di kebun binatang?” katanya sambil tersenyum.

“Benar. Boleh saya bicara dengan anda?” tanyaku gugup.

“Tentu saja! Ayo duduk disini!” katanya ramah.

“Saya ingin bertanya, anda tinggal dimana?” tanyaku.

“Di dekat sini, memangnya ada apa?” dia balik bertanya.

“Uh… eh… tidak apa-apa,” kataku gugup. “Apa anda pernah mengalami sebuah kecelakaan?” tanyaku takut.

Dia terlihat bingung dengan pertanyaanku, “Tidak pernah, dan semoga saja tidak perrnah,” jawabnya.

“Kalau begitu terima kasih. Sampai jumpa!” kataku sambil pergi. Dia hanya memperhatikanku pergi dengan wajah bingung. Aku berjalan dengan cepat pulang. Aku punya permintaan pada ibu peri.

Di kamar aku memanggil ibu periku, “Ibu peri! Dimana anda? Aku membutuhkanmu,” teriakku.

Tiba-tiba muncullah asap perak dan di dalamnya keluar ibu periku. “Ada apa, sayang?” tanyanya.

“Aku punya satu permintaan. Tolong kembalikan ingatan  bibi Mia!” kataku memelas.

Ibu periku tersenyum. “Sulit untuk mengembalikan ingatan dengan cepat, sayang!” katanya.

“Apa yang harus kulakukan untuk mengembalikan ingatannya?” tanyaku sedih.

“Suatu saat nanti kamu akan tahu,” katanya sambil tersenyum. Tapi, aku melihat kesedihan di balik senyumnya. Aku merasakan perasaan aneh.

Beberapa hari aku mencari cara untuk mengembalikan ingatan bibi Mia tapi selalu gagal. Aku hampir menyerah, tidak ada cara untuk mengembalikan ingatan bibi Mia. Sampai suatu malam aku ingat cara mengembalikan ingatan bibi Mia.

Aku memanggil ibu periku lagi, “Ada apa, sayang?” kata ibu periku setelah kupanggil.

“Ingatanku kembali karena aku melihat kecelakaan kan? Mungkin cara itu bisa mengembalikan ingatan bibi Mia juga,” kataku.

Ibu periku kaget mendengar perkataanku. “Maksudmu kamu ingin aku membuat sebuah kecelakaan? Itu bisa merenggut nyawa orang lain, Nak!” kata ibu periku.

“Tapi, hanya itu satu-satunya cara. Tolonglah, ibu peri!” kataku memohon.

“Nanti suatu saat, ingatan bibi Mia akan kembali, sayang! Kamu tunggu saja,” katanya dan langsung menghilang.

Esok harinya ibuku mengajak pergi ke sekolah tujuanku. Katanya untuk memastikan sekolahku nanti seperti apa. Di tengah jalan aku melihat bibi Mia sedang berjalan di trotoar. Aku dengan senang langsung menyuruh ibuku menghentikan mobilnya dan keluar.

“Bibi Mia!” teriakku memanggilnya. Saat bibi Mia menengok ke arahku yang sedang berlari dia berteriak, “Awas bahaya!”

Tapi terlambat, sebuah mobil menabrakku dan aku langsung jatuh. Dalam keadaan setengah sadar aku melihat bibi Mia berlari ke arahku dan memelukku, “Nur, sekarang saya ingat siapa saya. Saya adalah pengasuhmu, bibi Mia. Sadarlah, Nur!” katanya sambil menangis.

Ketika aku sadar aku berada di sebuah taman. Taman itu begitu indah penuh dengan bunga. Di ujung sana aku melihat ibu periku sedang berjalan ke arahku. “Dimana aku?” tanyaku pada ibu peri. Tapi, dia hanya tersenyum dan menunjuk ke arah kolam di taman.

Saat aku melihat ke arah kolam, aku melihat diriku tergeletak di jalan dan dipeluk oleh bibi Mia. Aku lihat bibi Mia menangis dan terus memanggil namaku. “Apa aku sudah meninggal?” tanyaku pada ibu peri.

“Bisa dibilang begitu,” kata ibu periku. “Seharusnya kamu sudah meninggal saat kecelakaan bis waktu itu. Tapi bibi Mia menyelamatkanmu dan umurmu diperpanjang,” lanjutnya.

“Jadi, setelah aku meninggal, ingatan bibi Mia dikembalikan?” tanyaku.

“Benar, sayang!” katanya. “Sekarang, ayo kita pergi!”

Setelah kepergianku, bibi Mia bekerja sebagai pengasuh anak. Dia masih sedih dengan kepergianku. Karena tidak ingin bibi Mia sedih, aku menemui bibi Mia dalam mimpinya dan berkata kalau aku akan menjemputnya nanti dan itu membuatnya bahagia.

Akhirnya setelah dia meninggal dunia, aku menjemputnya, “Apa kamu Nur?” tanyanya.

Dan dengan tersenyum aku menjawab, “Benar, bibi Mia! Selamat datang,” kataku sambil tersenyum. Dan akhirnya kami hidup bahagia selamanya.

Cerita ini diikutsertakan pada lomba fantasy fiesta 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar