Halaman

Label

Sabtu, 04 Juni 2011

Rumah Hantu Bagian 2


Aku langsung membawa boneka itu keluar tanpa memperhatikan wajahnya lagi. Kulihat ibu sedang memasak di dapur. “Pagi! Apa yang kamu bawa, Sarah?” kata ibuku. “Bukan apa-apa. Ibu, bisakah ibu membuang boneka ini?” kataku sambil menunjukkan boneka itu tanpa melihat boneka itu, aku masih ketakutan pada boneka itu. “Untuk apa dibuang, sayang? Bukankah boneka itu masih bagus?” kata ibuku dengan suara lembut. “Pokoknya buang aja, ma!” dan aku langsung meletakkan boneka itu di samping ibu.


Karena aku sedang pusing dan bingung, aku memutuskan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Lagian kan sumpek di rumah terus. Saat aku keluar gerbang kulihat orang-orang berlalu lalang. Tapi setiap berpapasan dengan rumahku, orang-orang membuang muka seakan takut. Aneh sekali orang-orang disini. Seperti melihat rumah hantu saja. Kataku dalam hati.

Aku lalu berjalan santai ke sebuah rumah makan dan kulihat banyak orang sedang mengobrol. Karena malas, aku hanya mendengarkan saja obrolan mereka. Inilah obrolan mereka.

“Hei, kamu tahu tidak? Rumah di ujung komplek itu sudah ada pemilik baru,” kata seorang bapak-bapak, sepertinya dia tukang ojek, rumah yang dia maksud itu rumahku. “Maksudnya rumah hantu itu?” kata orang di sebelahnya. begitu mendengar kata ‘hantu’, jantungku berdetak kencang, “apa maksudnya?” kataku dalam hati.

“Iya, -bapak itu melanjutkan- rumah hantu itu. Saya jadi kasihan dengan pemilik barunya. Andai saja dia tahu tentang rumah itu.” Aku semakin bingung dengan perkataan bapak itu. Aku beranikan diri bertanya, “maaf pak, daritadi saya dengar bapak berdua lagi ngomongin rumah di ujung komplek sebagai rumah hantu. Ada apa ya, pak?”

Bapak itu terlihat kaget melihatku, mungkin karena aku tidak disadari olehnya. “Oh, iya dek. Rumah itu dulu pernah ditinggali seorang perempuan dan dia meninggal. Konon, orang yang tinggal disana akan dibunuh oleh perempuan itu,” bapak itu menjelaskan.

Aku semakin kaget mendengarnya, “Lalu bagaimana perempuan itu bisa meninggal?” “Katanya sih karena pembunuhan, dek!” bapak itu menjelaskan. “Oh, terima kasih banyak, pak!” aku langsung berlari keluar dengan cepat bahkan tidak mempedulikan bapak-bapak itu yang memanggilku.

“Hantu? Hantu? Tidak mungkin… itu tidak mungkin. Bagaimana bisa?” aku hanya bisa berkata seperti itu berulang kali. Sesampainya di rumah aku langsung mencari ibu tapi tidak ada. “Ibu… ibu…, ibu dimana?” aku mulai mencemaskan keadaan ibu. Jangan-jangan kata bapak-bapak itu benar. Orang yang masuk ke dalam rumah ini akan mati. Tidak… tidak… aku tidak boleh mempercayainya. Akhirnya aku menemukan ibu di kamarku sedang berberes. “Ibu, darimana saja sih? Aku kan cemas,” kataku sambil terisak. “Kamu kenapa sayang? Ibu tidak apa-apa kok. Daritadi ibu di kamarmu,” kata ibuku sambil mengusap air mataku. Aku takut, sedih, bingung tercampur jadi satu.

Menjelang sore aku ke kamar mandi untuk melepaskan penatku. Aku mulai bisa tenang dan bahkan melupakan tentang ‘rumah hantu’. Tapi, saat aku sedang mandi dan melihat ke arah cermin, aku melihat bonekaku di belakangku sedang tersenyum. Sontak aku kaget dan melihat ke belakang, ternyata tidak ada apa-apa. “Tenang Sarah!!!! Tenang!!!” aku menenangkan diriku sampai aku mendengar suara, suara anak perempuan. “Sarah... cepatlah pergi dari sini!” dan saat aku melihat ke asal suara, kulihat ada seorang anak perempuan berdiri dan tersenyum ke arahku.

“AAA.......!!!!” aku berteriak sekencang-kencangnya dan ibuku lalu datang. “Ada apa lagi, Sarah?” ibuku datang dengan muka pucat dan langsung memelukku. “A..... a..... aku.....” aku sama sekali tidak bisa berbicara. Saat ibuku menatapku kembali, kulihat wajah ibuku berubah pucat, rambut memanjang, dan kuku memanjang, dan dia tersenyum sambil berkata, “Kau tidak akan kemana-mana!”

“AAAA.......!!!!!” aku berteriak dan menyadari telah berada di kamar. Keringat mengucur deras hingga membuat kasurku basah. Dan kulihat, boneka itu berada di sampingku dan tersenyum ke arahku sambil berkata, “Tidak apa-apa! Aku akan melindungimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar