Halaman

Label

Minggu, 31 Juli 2011

Guru Misterius part 1

Suara sepatu melangkah terdengar. Empat puluh anak yang sedang bermain di kelas langsung diam. Seakan semua suara tersedot dan hanya suara langkah kaki seseorang yang terdengar.

Raut ketakutan memenuhi seluruh kelas. Suara langkah kaki yang sangat mereka kenal berjalan ke arah mereka. Mungkin bagi yang tidak mengenalnya akan mengatakan itu suara langkah kaki wanita yang sangat anggun. Karena suara langkah kakinya yang pelan tapi tegas.

Tapi, bagi yang mengenal suara langkah kaki itu. Pasti mereka akan berkata itu suara langkah kaki setan. Meskipun nyatanya itu bukan setan karena setan tidak berjalan menggunakan kaki layaknya manusia.

Anak-anak yang tadinya ceria langsung ketakutan dan berlarian menuju kursinya masing-masing. Mereka duduk dengan rapi dan tidak ada yang berani bicara bahkan batuk sekalipun.

Beberapa saat kemudian masuklah seorang wanita berwajah dingin dan terlihat sudah tua. Padahal umurnya masih sekitar 28 tahun.

Matanya berwarna hitam gelap dan tatapannya tajam. Seakan-akan bisa melihat isi kepalamu. Rambutnya hitam lurus terlihat kaku seperti kawat. Sedangkan bibirnya berwarna merah pucat dan tertekuk tanda tidak bahagia.

Anak-anak menahan nafas saat wanita itu menatap mereka satu per satu. Bahkan ada yang keringatnya mengucur deras dari pelipihnya. Raut ketakutan terlihat sangat jelas di wajah mereka. Tapi, wanita itu tidak memedulikan raut wajah anak-anak itu.

“Berdiri!” kata seorang anak bertubuh kekar dan kuat. Tapi, raut wajahnya sama takutnya dengan anak lain meski masih memberi kesan dia adalah ketua kelas. Semua anak berdiri dengan agak ragu.

Wanita itu menatap galak kepada anak tadi, “Bukankah dulu saya katakan tidak perlu berdiri? Atau memang telingamu sudah tuli?” kata wanita itu tajam. Anak tadi meringis dan hampir menangis mendengarnya.

Bagaikan para anak anjing, mereka langsung patuh dan duduk kembali dengan cepat. Ketakutan mereka semakin meningkat setelah mendengar suara wanita itu. Sedangkan ketua kelas hanya diam mematung.

Wanita itu berjalan dengan angkuh ke arah kursinya dan duduk. Ketua kelas tidak berani untuk berbicara lagi. Dan wanita itu tidak peduli dan kemudian mengeluarkan alat kerjanya berupa spidol papan tulis, buku-buku yang sangat lapuk, dan pensil.

“Baiklah! Mari kita mulai pelajaran hari ini!” kata wanita itu. Tapi, semua anak itu diam seribu bahasa. wanita itu menyapu pandangannya ke seluruh kelas.

“Hari ini kita akan belajar tentang puisi. Ada yang tahu apa itu puisi? Tanya wanita itu dengan wajah dingin. Dan tidak diduga seorang anak mengangkat tangan. Dari wajahnya terlihat dia sepertinya anak yang pintar.

“Tidak ada yang tahu? Kupikir semua anak disini pintar. Ternyata dugaanku salah besar,” kata wanita itu seakan-akan tidak melihat anak yang mengangkat tangan tadi.

“Oh, ayolah, Bu! Puisi adalah sebuah karya sastra berupa karangan terikat,” kata anak itu tidak sabaran. Dengan mendadak wanita itu menatap ke arah anak itu.

“Saya tidak menyuruhmu menyombongkan diri, Andromeda! Dan sakarang kau berani menyombong di depan temanmu?” kata wanita itu dingin dan menusuk. Seketika anak yang dipanggil Andromeda itu diam.

“Seperti yang disombongkan Andromeda tadi,” kata wanita itu –wajah Andromeda terlihat memerah-. “Bahwa puisi adalah sebuah karya sastra berupa karangan terikat,” lanjutnya.

Dan wanita itu melanjutkan penjelasan dengan dingin. Tidak ada yang berbicara kecuali wanita itu. Dan sepertinya wanita itu tidak peduli dengan hal tersebut.

Bel istirahat berbunyi nyaring dan wanita itu segera membereskan peralatan kerjanya. Tidak ada anak yang berani keluar sebelum wanita itu. Baru setelah wanita itu berjalan dengan angkuh keluar kelas, semua anak bernafas dengan lega dan berhamburan keluar kelas.

Di kantin yang mulai penuh sesak, anak-anak mengobrol dengan ceria. Entah apa yang mereka obrolkan, yang pasti wajah ceria mereka terlihat jelas. Bahkan ada yang langsung berlari ke lapangan setelah membeli makanan di kantin. Kebetulan kantin terletak tepat di sebelah lapangan.

SMA Budi Bangsa benar-benar sangat ramai saat istirahat. Semuanya bermain dengan ceria. Tapi, ada hal berbeda belakangan ini. Keramaian di sekolah itu semakin surut sekali sejak kedatangan wanita itu. Wanita misterius bernama Bu Vika.

Bu Vika adalah seorang guru baru di sekolah itu. Tidak seorangpun murid mengetahui asalnya. Bahkan murid disana tidak tahu kapan dia melamar jadi guru disana.

Yang mereka semua ingat adalah hari pertamanya mengajar. Kelas pertamanya mengajar adalah kelas 10-2. Saat itu tidak ada Bu Sari, guru bahasa indonesia disana, untuk mengajar karena sakit.

Anak-anak disana bercanda dan bermain karena tidak ada guru yang mengajar. Sampai ada sebuah suara langkah kaki seorang wanita yang sangat keras berjalan ke arah kelas mereka.

Anak-anak disana mengintip ke arah jendela dan melihat Bu Vika. “Guru baru kayaknya,” kata seorang anak.

Semua anak tidak mempedulikannya dan kembali bermain bahkan saat Bu Vika masuk ke dalam kelas. Dan terus berjalan ke arah mejanya dan dengan sigap membanting sebuah kamus ke atas meja.

Dengan  sekejap kesunyian menyergap. Semua anak diam mematung. Yang tadinya tertawa sekarang diam seribu bahasa. Yang tadinya berlari-larian berlarian langsung diam mematung. Sedangkan Bu Vika tersenyum sinis.

“Kembali ke tempat duduk kalian!” katanya dengan dingin tapi tegas. Semua anak dengan takut menuruti katanya. Mereka kembali duduk dan mengeluarkan buku mereka.

“Bagus! Mungkin kalian asing dengan saya. Dan menurut saya, saya tidak perlu mengenalkan diri saya,” katanya dingin. Seorang anak yang duduk paling belakang mencibir.

Dengan cepat mata Bu Vika menemukan anak itu. Dan dia menatap tajam anak itu. Sedangkan anak itu menunduk takut.

“Baru pertama kali ini saya merasakan ketidakpatuhan. Kukira kalian anak yang baik. Ternyata justru kebalikannya,” kata Bu Vika sambil tersenyum sinis seperti menghina. Semua anak hanya diam tidak menjawab.

“Namun walaupun begitu saya akan memperkenalkan diri saya. Yah, dengan sangat terpaksa!” katanya dingin. Semua anak wajahnya memerah menahan emosinya. Tapi, Bu Vika terlihat senang dengan hal itu.

“Nama saya adalah Vika Prabuwijaya,” katanya, “Dan saya bertugas menggantikan Bu Sari menjadi guru Bahasa Indonesia kalian,” katanya melanjutkan. Semua anak tetap diam.

“Sekarang kita akan memulai pelajaran,” kata Bu Vika. Dan anak-anak hanya mengangguk.

Beberapa jam setelah itu, berita tentang kedatangan Bu Vika menyebar luas dengan sangat cepat bagaikan bau bangkai yang cepat menyebar. Dari mulut ke mulut berita itu menyebar. Dan juga terdengar oleh para guru tapi mereka diam saja.

Di kantor kepala sekolah, kepala sekolah dan wakilnya berdebat. Mereka berdebat tentang kehadiran Bu Vika dan kekhawatiran tentang reputasi sekolah itu.

“Sudah kubilang Pak Sugi, mereka baik-baik saja! Jangan mencoba menjatuhkan reputasi sekolah ini dengan berita murahan itu!” kata seorang bapak berumur 38 tahun. Dia adalah kepala sekolah di SMA Budi Bangsa.

“Bapak bilang mereka baik-baik saja? Apa bapak tidak lihat mereka ketakutan padanya? Berita itu sudah meluas dan bahkan bisa menjatuhkan sekolah ini dengan cepat. Dan bapak hanya berkata mereka baik-baik saja?” kata orang yang dipanggil Pak Sugi geram.

“Habis mau bagaimana lagi? Sekolah kita memang sudah akan runtuh dan tidak ada  guru yang mau melamar disini. Dan sudah bagus ada yang melamar jadi guru disini. Dan anda ingin dia keluar dari sekolah ini?” kata kepala sekolah tak kalah geramnya.

Pak Sugi hanya diam tidak menjawab. Raut wajahnya terlihat bingung sekali. Berkali-kali dia mengusap keringat di dahinya dengan sapu tangan.

“Apa tidak ada cara yang tepat?” katanya kebingungan.

“Satu-satunya jalan adalah menunggu kesembuhan Bu Sari sehingga dia bisa mengajar kembali disini secepatnya,” kata kepala sekolah.

Tapi, beberapa hari kemudian sebuah berita datang ke sekolah itu. Bu Sari telah meninggal tadi malam. Dan hal itu mengagetkan seluruh sekolah. Kepala sekolah dan wakilnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda bingung dan takut. Sedangkan para guru kecuali Bu Vika merasa kebingungan.

Tidak hanya para guru, para murid mulai ketakutan dengan berita itu. Karena jika Bu Sari tidak mengajar kembali, maka Bu Vika akan mengantikannya selamanya. Dan itu bukanlah hal bagus bagi mereka.

Para murid mulai membincangkan kalau Bu Vika yang membunuh Bu Sari. Entah darimana spekulasi itu, tapi hal itu menyebar dengan cepat. Tapi Bu Vika yang mendengarnya terlihat biasa dan terkesan tak peduli atas berita tidak jelas itu.

Para guru juga hanya diam menanggapi berita tersebut. Mereka juga memikirkan hal yang sama, bahwa Bu Vika ada dibalik semua ini.

Salah satu murid yang penasaran atas berita itu adalah James. Dia adalah murid kelas 10-2 yang maniak misteri. Dia selalu penasaran dengan asal muasal Bu Vika.

Setiap hari dia memperhatikan gerak-gerik Bu Vika. Tapi, melakukan itu tidak menghasilkan apa-apa.

Saat istirahat dia berbincang-bincang dengan salah satu sahabatnya, Gerry. Seorang anak yang jago olahraga dan cukup tampan sehingga disukai banyak orang.

“Lihat Andromeda? Kok tumben dia gak ke kantin,” kata James sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari Andromeda.

“Gak tahu! Mungkin dia stres karena dihina si iblis,” kata Gerry. Iblis itu maksudnya Bu Vika.

“Hus! Kalau Bu Vika dengar kamu bisa dibunuh!” kata James, “lebih baik kita cari dia!” katanya khawatir.

Mereka berjalan ke penjuru sekolah mencari Andromeda. Tapi, mereka tidak menemukannya. Sampai mereka mendengar suara sesengukan di dalam toilet yang mereka duga adalah suara Andromeda.

Mereka tidak berani masuk ke dalam. Selain karena itu toilet khusus perempuan, mereka juga takut mengganggu Andromeda. Akhirnya mereka pergi meninggalkan Andromeda sendirian.

Bel tanda masuk berbunyi. Semua anak berbondong-bondong berlarian ke arah kelas. terutama kelas 10-2 karena sekarang adalah pelajaran dari Bu Vika.

Beberapa menit kemudian, lorong sekolah sepi. Semua ruangan sepi bahkan di kantin sekalipun. Seakan volume diatur menjadi diam.

Beberapa orang guru keluar dari ruang guru dan berjalan ke arah kelas tujuannya. Mereka berjalan terburu-buru karena tidak ingin bertemu dengan Bu Vika. Tapi celakanya, Bu Dian bertemu dengan Bu Vika karena kebetulan mereka searah.

“Se-se-selamat pagi, Bu Vika!” kata Bu Dian sambil tersenyum. Bu Vika hanya diam dan memasang wajah dingin.

“Sebenarnya sekarang siang, Bu Dian. Apa anda tidak bisa membaca jam?” kata Bu Vika sinis dan berlalu. Bu Dian hanya mengomel dalam hati. Dan berjalan ke arah kelasnya.

“Bu Vika datang! Bu Vika Datang!” teriak James sambil berlari ke dalam kelas. Semua anak berhamburan berlari ke kursi masing-masing dan duduk. Seketika kelas langsung sepi.

Dengan angkuh seperti biasa, Bu Vika berjalan ke arah mejanya. Kali ini dia tidak menatap wajah para murid. Melainkan menatap ke arah mejanya. Dari wajahnya tersirat perasaan jijik pada semua anak.

Ketua kelas tidak menyiapkan kelas dan hanya diam. Mungkin karena trauma akibat dimarahi Bu Vika. Tapi, hal itu bukanlah hal yang baik. Justru malah memperparah keadaan.

“Oh, jadi setelah kalian menyombongkan diri,” katanya sambil menatap Andromeda sekilas sedangkan Andromeda hanya menunduk lesu, “sekarang kalian menjadi tidak hormat karena tidak memberi salam?” katanya sinis.

Semua anak menahan nafas. Seketika wajah mereka memerah menahan emosi. Sedangkan ketua kelas menunduk malu dan takut. Air matanya jatuh.

Bu Vika seakan tidak peduli dengan mereka yang menahan emosi dan kesedihan. Dia malah senang karena mereka semua tidak berani mengungkapkan emosinya.

“Baiklah! Daripada membuang waktu saya yang sangat berharga daripada disini terus,” katanya sambil menunjukkan pandangan jijik ke seluruh kelas, “lebih baik kita segera mulai belajar,” lanjutnya.

Waktu terasa sangat lambat. Semua anak sangat tidak sabar menunggu kepergian Bu Vika dari kelas. mereka sudah tidak kuat dengan perlakuan Bu Vika yang merendahkan orang lain.

Akhirnya bel tanda istirahat kedua berbunyi. Semua anak bernafas lega. Tapi, tidak ada yang berani keluar dari kelas sebelum Bu Vika. Dan kelihatannya Bu Vika tidak ingin keluar karena enggan berpindah dari belakang mejanya.

“Kenapa kalian tidak keluar untuk istirahat?” tanya Bu Vika sinis. Semua anak hanya diam. Meskipun keinginan mereka untuk keluar sangat besar. Tetap saja tidak dapat mengalahkan ketakutan mereka pada Bu Vika.

“Baiklah kalau tidak ada yang ingin keluar. Mungkin ada baiknya kita melanjutkan pelajaran,” kata Bu Vika sambil tersenyum jahat. Semua anak hanya menahan nafas mendengarnya.

Dan akhirnya Bu Vika melanjutkan kembali pelajarannya. Semua anak hanya diam mematung dan kadang-kadang mengangguk tanda mengerti kalau ditanya Bu Vika. Meskipun nyatanya mereka tidak bisa menyerap pelajaran saking laparnya.

Bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Bu Vika dengan cepat membereskan peralatan kerjanya dan meninggalkan kelas dengan gaya angkuhnya sambil mengedipkan sebelah matanya pada semua anak.

Sesaat setelah suara langkah kaki Bu Vika tidak terdengar lagi, semua anak langsung menghembuskan nafas sekuat-kuatnya. Dan ada beberapa yang memegangi perutnya yang lapar.

“Sungguh keterlaluan iblis itu. Ingin rasanya kucekik lehernya,” kata Gerry geram. James hanya mengangguk sambil menoleh ke arah Andromeda yang sedari tadi menunduk saja. Lalu dengan inisiatifnya, James berjalan ke arah Andromeda dan mengelus kepalanya.

“Sudahlah, Andromeda! Jangan dipikirkan terus. Nanti kamu malah sakit,” kata James menenangkan. Andromeda otomatis mengangkat kepalanya menghadap James. Matanya merah dan bengkak karena menangis terus-menerus.

“Aku gak apa-apa kok, James! Aku cuma sedikit mengantuk,” kata Andromeda berbohong. Tapi, James tahu kalau Andromeda berbohong karena keadaannya yang sangat mengkhawatirkan.

“Jangan berbohong, Andromeda! Aku tahu kok perasaanmu bagaimana. Semua orang pasti kesal dihina seperti itu. Kamu sabar ya!” kata James sambil tersenyum.

Andromeda tersenyum mendengar kata-kata James. James kemudian mengelap air mata Andromeda yang terus mengalir bak air terjun dan mengelus kepala Andromeda untuk menenangkan.

“Terima kasih, James! Aku sudah lumayan tenang. Bahkan aku hampir lupa kenapa aku menangis,” kata Andromeda sambil tertawa. James juga ikut tertawa seakan mereka telah melupakan kejadian tadi.

“Hayo! Pacaran nih ye!” kata Gerry tiba-tiba sambil tertawa geli.

“Ih… Gerry jahat!” kata Andromeda sambil memukul-mukul bahu Gerry.

“Aw… aw… aduh, udah dong! Iya… iya… aku gak bakal godain lagi deh!” kata Gerry sambil menghindari pukulan Andromeda.

Seketika gelak tawa memenuhi ruang kelas. Mereka seakan-akan melupakan kejadian barusan. Bahkan mereka juga melupakan kata-kata Bu Vika tadi yang cukup menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar